JATIMTIMES - Warisan budaya Kota Malang kembali menemukan napas barunya. Melalui sentuhan tangan para perajin dan seniman, relief kuno di Candi Jago kini bertransformasi menjadi Motif Batik Tumpal Malang. Simbol yang bukan hanya indah di mata, tapi juga sarat makna spiritual dan filosofis.
Motif segitiga dengan isian teratai itu diadaptasi dari pipih tangga pertama menuju tangga kedua Candi Jago. Namun, di balik keindahannya, tersimpan tafsir kosmologis. Yakni keselarasan antara manusia (mikrokosmos), alam semesta (makrokosmos), dan dunia spiritual (metakosmos). Dalam pandangan budaya Malang, ketiganya membentuk keseimbangan yang menjadi dasar harmoni hidup.
Baca Juga : Kanwil DJBC Jatim II Inisiasi Festival Budaya Bertepatan Hari Oeang, Pamerkan Ratusan Keris Kuno
“Motif tumpal ini tidak sekadar karya tekstil, tapi media ekspresi budaya yang menyatukan masa lalu dan masa kini,” Ketua Asosiasi Perajin Batik Kota Malang, Isa Wahyudi.
Menurutnya, Tumpal Malang diharapkan bukan hanya tampil di busana, tapi juga menjadi identitas visual kesenian tradisional Malang, seperti Tari Beskalan Putri dan Tari Topeng Malang.
Lebih dari itu, bentuk segitiga runcing yang menyerupai gigi buaya dipercaya memiliki makna magis penolak bala. Ia menjadi simbol keteguhan, kekuatan, dan keseimbangan spiritual, layaknya gunung yang suci dalam kosmologi Jawa.
Dalam konteks tari, makna itu menjelma doa akan keselamatan dan keberkahan. Proses pembatikan pun tak kalah sakral. Para perajin menjaga keaslian motif agar nilai filosofinya tidak bergeser. Dari situ, batik bukan sekadar kain berpola, melainkan “naskah hidup” yang menulis ulang sejarah dan spiritualitas Malang dalam bentuk visual.
Pandangan senada disampaikan Prof. Roby Hidajat, Guru Besar Seni Tari dan Musik Universitas Negeri Malang (UM). Menurutnya, penerapan motif tumpal pada elemen tari, terutama pada sampur (selendang) merupakan bentuk inovasi yang patut diperkuat.
“Motif ini perlu terus digarap secara teknis agar tetap terlihat jelas ketika digetarkan dalam gerak tari. Apalagi, jika dilihat dari jarak sekitar sepuluh meter,” ujarnya.
Selain itu menurutnya, dukungan pemerintah sangat diperlukan agar pengembangan motif ini dapat berjalan seimbang antara dunia batik dan seni pertunjukan.
Baca Juga : 80 % Lulusan Unikama Sudah Terserap Dunia Kerja, Rektor Titip 3 Pesan Kehidupan Untuk 712 Wisudawan
Sedangkan menurut dosen Seni Tari dan Musik UM, Dr. Tri Wahyuningtyas, Tumpal Malang dipandang sebagai langkah menarik dalam pencarian identitas visual tari tradisional Malang.
“Motif ini membuka ruang diskusi baru. Perlu ada kesepakatan bersama, apalagi dalam konteks Warisan Budaya Takbenda (WBTB) untuk Tari Beskalan. Sebab, selama ini busana yang digunakan masih polos,” jelasnya.
Ia menegaskan, motif tumpal dapat menjadi pijakan baru dalam memperkaya estetika tari Malang. Namun, tentu harus melalui kajian mendalam agar penggunaannya memiliki dasar historis dan kultural yang kuat.
Melalui Batik Tumpal Malang, Kota Malang seakan membangun kembali jembatan antara relief candi, doa-doa kuno, dan panggung seni modern. Ia menjadi bukti bahwa kebudayaan bukan benda mati, melainkan sesuatu yang terus hidup, menyesuaikan zaman tanpa kehilangan jiwanya.
