Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Rahasia Birokrasi Kartasura: Abdi Dalem di Balik Takhta Pakubuwana II

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

03 - Oct - 2025, 10:22

Placeholder
Batu petilasan bekas ruang utama raja di Situs Keraton Kartasura. Jejak ini menjadi saksi perjalanan dinasti Mataram Islam dari masa Amangkurat II hingga Pakubuwana II. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada paruh pertama abad ke-18, Mataram Kartasura berada pada persimpangan sejarah. Perang internal, tekanan kolonial VOC, serta fragmentasi elit istana menuntut tatanan pemerintahan yang tegas namun tetap memelihara wibawa raja.

 Di tengah dinamika itu, Susuhunan Pakubuwana II (memerintah 1726–1749) mengeluarkan sebuah piagam administratif yang merinci secara terperinci tugas dan kewajiban para abdi-dalem, dari tingkat istana hingga daerah pesisir. Naskah ini bukan sekadar dokumen birokrasi, melainkan gambaran sistem pemerintahan Jawa yang sarat dengan nilai ideologi, spiritualitas, dan disiplin sosial.

Arsip Sebelum Perjanjian Giyanti: Wibawa Raja dan Putra Mahkota

Baca Juga : Kalender Jawa Jumat Pon 3 Oktober 2025: Watak, Rezeki, Jodoh, dan Pekerjaan

Sebelum pecahnya Perjanjian Giyanti (1755) yang membelah Mataram, Pakubuwana II telah menyusun struktur kekuasaan yang menempatkan putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Raja Pura Narendra Mataram, sebagai penerima wewenang utama dalam menjaga bang-bang pangalum alum detentraman kerajaan, yaitu keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan istana beserta wilayah taklukan.

Kewenangan ini bersifat simbolik sekaligus administratif: simbolik karena menunjukkan kesinambungan wahyu keprabon (mandat kekuasaan raja) kepada calon penguasa; administratif karena memastikan bahwa garis komando pemerintahan tetap berpusat pada keluarga inti raja.

PB II

Patih-Dalem dan Adipati Danureja

Selain putra mahkota, pejabat tertinggi berikutnya adalah Patih Dalem yang pada masa itu dijabat oleh Adipati Danureja. Patih memiliki kewenangan untuk melaporkan seluruh aspek baik maupun buruk mengenai perilaku para abdi dalem di seluruh wilayah Jawa. Kedudukannya disamakan dengan putra mahkota dan bahkan keputusan patih tidak boleh dibantah oleh raja.

Ungkapan Jawa “bang-bang pangalum-alum dhedhak merang amis bacin” dalam naskah menggambarkan bahwa patih memiliki tanggung jawab luas, mulai dari hal kecil hingga perkara besar, sebagaimana dhedhak (dedak) dan merang (jerami) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari nasi. Dalam konteks historiografi, posisi patih memperlihatkan struktur pemerintahan Mataram yang menganut model dual leadership, yakni kekuatan simbolik pada putra mahkota sebagai penerus legitimasi kerajaan dan kekuatan eksekutif administratif pada patih yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Sistem ini memastikan keseimbangan antara aspek karisma politik dan mekanisme birokrasi kerajaan.

Patih

Nayaka Kaparak: Garda Depan Istana

Golongan Nayaka Kaparak merupakan kelompok pejabat yang menangani keterampilan militer, tata busana, kesusastraan, dan keamanan kerajaan. Dalam struktur ini, Nayaka Kaparak Tengen dipegang oleh Raden Demang Ngurawan serta Raden Mangkupraja yang bertugas mengatur keterampilan kasar maupun halus, menata busana prajurit, dan menguasai kesusastraan Jawa serta Arab. Mereka dituntut untuk pandai bertutur kata, menguasai berbagai bahasa, serta taat pada agama. Hal ini menunjukkan bahwa pejabat istana tidak hanya berperan sebagai administrator tetapi juga sebagai penjaga kebudayaan.

Adapun Nayaka Kaparak Kiwa dipegang oleh Raden Tumenggung Natawijaya serta Kyai Tumenggung Kartanadi yang memiliki tanggung jawab menyediakan senjata ampuh, melatih prajurit, membentuk jaringan mata-mata, dan mengawasi setiap potensi ancaman terhadap kerajaan. Aktivitas intelijen yang dilakukan memperlihatkan bahwa sistem keamanan Kartasura bersifat proaktif dan tidak hanya bersifat defensif.

Abdi

Nayaka Gedhong: Keuangan, Estetika, dan Gendhing

Administrasi kerajaan membutuhkan aparat yang ahli dalam manajemen finansial sekaligus seni istana.

Gedhong Tengen dipegang oleh Kyai Tumenggung Tirtawiguna dan Kyai Tumenggung Wirareja. Mereka bertanggung jawab atas pemberian hadiah kepada prajurit, gaji, serta pengawasan perbendaharaan emas dan permata. Keahlian menghitung menjadi kunci agar harta kerajaan tidak mengalami kebocoran.

Selain mengatur keuangan dan penghargaan bagi prajurit, administrasi kerajaan juga menuntut pengelolaan seni dan budaya istana sebagai bagian dari wibawa dan citra kerajaan.

Gedhong Kiwa dipegang oleh Kyai Tumenggung Puspanagara dan Kyai Tumenggung Mangunnagara. Mereka bertugas mengatur kesenian, mencipta gendhing, tembang, serta tarian istana. Puspanagara juga bertanggung jawab atas hidangan raja, memperlihatkan bahwa estetika dan kenikmatan hidup raja dianggap bagian integral dari wibawa kerajaan.

Abdi gamelan

Nayaka Jawi dan Nayaka Siti Ageng: Dunia Gaib dan Intelijen

Keunikan sistem pemerintahan Mataram tampak pada penempatan pejabat yang menguasai dunia kebatinan dan ilmu gaib. Nayaka Jawi Tengen dipegang oleh Kyai Tumenggung Anggawangsa dan Kyai Tumenggung Cakrajaya. Mereka menyediakan pekerja kasar, mencari wanita cantik sebagai palara-lara penghibur raja, serta menghadirkan orang sakti dan “aneh” yang menjadi bagian dari hiburan sekaligus pertahanan spiritual kerajaan.

 Sementara itu, Nayaka Siti Ageng dipegang oleh Kyai Tumenggung Pringgalaya dan Kyai Tumenggung Mlayakusuma yang menguasai perdukunan, sesaji, tirakat, dan ilmu kebatinan. Mereka menafsirkan tanda-tanda gaib yang diyakini memberi peringatan tentang nasib kerajaan. Dari struktur ini terlihat bahwa ideologi Jawa tentang kekuasaan bersandar pada harmoni antara dunia lahiriah dan batiniah.

Ki ageng henis

Nayaka Panumping, Panekar, dan Nayaka Bumi: Infrastruktur dan Pertanian

Bagian ini mengatur pembangunan infrastruktur, tata kota, dan pengelolaan sumber daya alam. Panumping dan Panekar dipegang oleh Kyai Tumenggung Wiraguna atau Wiradagda serta Kyai Tumenggung Kartanagara. Mereka merancang benteng, jalan, rumah peristirahatan, dan taman istana. Kartanagara juga memastikan bahwa hiasan istana dikenal di kerajaan lain, sebuah bentuk diplomasi simbolik melalui seni dan arsitektur.

Sementara itu, Nayaka Bumi dipegang oleh Kyai Tumenggung Mangkuyuda dan Kyai Tumenggung Natayuda yang ahli dalam pertanian, tata air, penolak hama, dan pemilihan tanaman obat. Struktur ini menunjukkan bahwa kesejahteraan agraris menjadi basis kekuatan ekonomi Mataram.

Pertanian

Peran Ulama, Penghulu, dan Mardikan

Baca Juga : Komisi III DPRD Kabupaten Malang Sidak Bangunan dan Lahan yang Tertutup Tembok Perumahan BCT

Kartasura era Pakubuwana II menempatkan agama sebagai pilar legitimasi kerajaan. Para ulama, penghulu, dan khatib bukan hanya mengajar agama, tetapi juga bertugas menghitung penanggalan, memimpin doa keselamatan kerajaan, dan memberi nasihat hukum berbasis kitab. Kelompok Mardikan di desa-desa pun diwajibkan menyelenggarakan salat Jumat serta mengajarkan syariat kepada masyarakat.

Dalam pandangan historiografi kritis, hal ini menunjukkan Islamisasi struktur pemerintahan tanpa menghilangkan nilai-nilai adat Jawa.

Penghulu

Sistem Sosial dan Militer

Prajurit Suranata memiliki tugas menjaga keselamatan raja saat wyasan atau hari kelahiran raja, sementara abdi-dalem Juru Ajar bertanggung jawab mengawasi tanda-tanda alam, termasuk aktivitas gunung berapi. Pengetahuan mereka tentang pawukon dan perbintangan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan, seperti menentukan hari baik untuk pembangunan atau ekspedisi militer.

Prajurit

Catatan Akhir: Makna Historis, Ideologi, dan Spiritualitas

Piagam tugas abdi-dalem pada masa Pakubuwana II mencerminkan tiga lapisan ideologis yang saling terkait. Politik kekuasaan terlihat dari struktur pemerintahan yang jelas, yang menjadi alat untuk mempertahankan wibawa raja di tengah tekanan VOC dan pemberontakan daerah. Spiritualitas Jawa-Islam tampak dari penempatan pejabat ahli kebatinan dan ulama, menegaskan bahwa legitimasi kerajaan bersumber pada harmoni kosmis antara dunia gaib, Islam, dan adat. Dendam sejarah muncul dari ketegangan internal, seperti perlawanan Raden Mas Garendi pada 1742, karena sebagian elite merasa piagam ini tidak menjamin keadilan dalam distribusi kekuasaan dan kesejahteraan.

Situs kartasura

Tata pemerintahan Mataram Kartasura di bawah Pakubuwana II memperlihatkan birokrasi yang rumit, diwarnai estetika istana, nilai religius, dan sistem intelijen yang rapi. Namun, di balik ketertiban itu tersimpan paradoks: struktur yang begitu detail tidak mampu mencegah pecahnya Mataram pasca-Perjanjian Giyanti 1755. Historiografi kritis menempatkan piagam ini bukan sekadar arsip administratif, melainkan cermin cita-cita politik Jawa yang berupaya merawat wibawa raja di tengah gelombang perubahan zaman, sekaligus memperlihatkan bahwa legitimasi, spiritualitas, dan dendam sejarah adalah tiga pilar yang membentuk wajah pemerintahan Mataram secara keseluruhan.

Keteraturan birokrasi dan estetika istana di Kartasura, meski mengesankan, hanyalah permukaan dari sejarah yang lebih dalam, sejarah yang diwarnai jaringan darah, spiritualitas, dan legitimasi yang menautkan raja dengan para wali. Dari sinilah, narasi nasab dan peran sentral Pakubuwana II muncul, menyingkap bagaimana garis keturunan trah Sunan Kudus membentuk pondasi politik dan spiritual Mataram.

Pakubuwana II: Raja Terakhir Kartasura, Pendiri Surakarta dari Trah Sunan Kudus

Dalam sejarah panjang Dinasti Mataram Islam, Susuhunan Pakubuwana II menempati posisi paradoksal: ia menutup era Kartasura sekaligus mendirikan Surakarta Hadiningrat. Lahir sebagai Gusti Raden Mas Prabasuyasa pada 8 Desember 1711 Masehi (23 Syawal 1634 H) di Keraton Kartasura, nasabnya menautkan darah kerajaan dengan trah ulama besar Nusantara, termasuk Sunan Kudus dan Maulana Ibrahim Asmarakandi, bahkan Syekh Jumadil Qubra. Jejak genealogis ini bukan sekadar silsilah, melainkan jaringan legitimasi politik dan spiritual yang mengikat kekuasaan raja dengan warisan Walisanga.

Silsilah ini bermula dari Syekh Jumadil Kubra yang memiliki dua istri, Siti Patimah Kamarumi dari Rum dan Siti Patimah Makhawi dari Mekkah, yang melahirkan Maulana Ibrahim Asmarakandi. Maulana Ibrahim menetap di Campa dan menikahi Dewi Candrawulan, putri Raja Kiyan, dari pernikahan ini lahirlah Sayid Ngali Rahmat yang kemudian dikenal di Jawa sebagai Sunan Ngampel Denta. Sunan Ampel menetap di Surabaya dan menjadi penghubung penting antara Campa, Majapahit, serta jaringan pernikahan dengan kalangan bangsawan lokal.

Sunan Ampel memiliki keturunan, salah satunya Nyai Agêng Manyuran, yang menikah dengan Sunan Ngudung. Dari perkawinan ini lahirlah Sunan Kudus, wali besar yang melanjutkan dakwah Islam di pesisir utara Jawa. Sunan Kudus menikahi putri bangsawan penting dan menghasilkan tokoh-tokoh seperti Panêmbahan Kudus, Pangeran Palembang, dan Adipati Sujaka. Panêmbahan Kudus menikah dengan trah Giri, menurunkan Pangeran Demang, yang selanjutnya memiliki Pangeran Rajungan. Jalur ini kemudian menelurkan Pangeran Sarêngat, Pangeran Kudus II (Raden Suradipura), hingga Raden Adipati Sumadipura di Pati.

Dari Sumadipura lahirlah Raden Bagus Yata, Bupati Kudus bergelar Raden Adipati Tirtakusuma. Ia menurunkan Kanjeng Ratu Kencana, yang kemudian menikah dengan Susuhunan Amangkurat IV. Melalui pernikahan ini, garis Sunan Kudus secara resmi menyatu dengan dinasti Mataram. Dari pernikahan itu lahir Gusti Raden Mas Prabasuyasa, kelak Pakubuwana II, yang menyatukan darah wali dan raja dalam satu figur penguasa. Jaringan nasab ini menegaskan legitimasi politik dan spiritual, menjadikan Pakubuwana II simbol kontinuitas Mataram di tengah turbulensi sosial-politik.

Pada usia 15 tahun, Prabasuyasa dinobatkan sebagai Susuhunan Pakubuwana II pada 15 Agustus 1726 M. Pemerintahannya diguncang oleh berbagai krisis, termasuk Geger Pecinan 1740–1743, yang memicu ketegangan antara etnis Tionghoa, elit keraton, dan pengaruh VOC. Keraton Kartasura hancur, dan wahyu kedaton yang menjadi sumber legitimasi spiritual raja dianggap hilang. Dalam kondisi genting ini, Pakubuwana II mengambil langkah luar biasa dengan memindahkan pusat kerajaan ke desa Sala dan mendirikan Surakarta Hadiningrat pada 17 Februari 1745 M. Langkah tersebut tidak sekadar administratif, tetapi menjadi simbol pemulihan legitimasi spiritual dan politik dinasti Mataram.

PB II

Pendirian Surakarta Hadiningrat diatur dengan tata letak kosmologis Jawa, membentuk poros sakral utara–selatan yang meniru pola Majapahit dan Demak. Seluruh pusaka, simbol kedaulatan, dan elemen ritual diboyong dari Kartasura ke Sala, menegaskan kesinambungan spiritual dinasti. Langkah ini memperlihatkan bagaimana ideologi, spiritualitas, dan dendam sejarah menjadi pilar strategi kekuasaan. Pakubuwana II tampil bukan sekadar sebagai pemimpin politik, tetapi sebagai arsitek spiritual-politik yang menghubungkan masa lalu Walisanga dengan masa depan kerajaan Jawa.

Pakubuwana II wafat pada 21 Desember 1749, dimakamkan sementara di Astana Laweyan dan kemudian dipindahkan ke Astana Imogiri. Anak-anaknya, termasuk BRMG Suryadi (Pakubuwana III), melanjutkan dinasti Surakarta di bawah bayang-bayang pengaruh VOC. Nasabnya, yang menautkan darah wali dan raja, menjadi jaringan simbolik yang menjembatani legitimasi politik dan spiritual di era transisi. Dalam perspektif historiografi modern, Pakubuwana II muncul sebagai figur transisi: raja pemulih, penghubung tradisi dan modernitas, yang melalui darah, politik, dan simbolisme membentuk Surakarta Hadiningrat sebagai pusat baru kekuasaan dan budaya Jawa.

 


Topik

Serba Serbi Mataram Kesultanan Mataram Kartasura Pakubuwana II kisah sejarah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Kediri Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy