Pincang di Bumi, Berlari ke Surga: Kisah Syahid Amr bin Al-Jamuh
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Yunan Helmy
20 - Dec - 2025, 07:33
JATIMTIMES - Di Madinah, jauh sebelum namanya dikenang sebagai syuhada, Amr bin Al-Jamuh berdiri sebagai tokoh berpengaruh dari Bani Salamah.
Amr bukan orang biasa. Wibawanya mengakar, suaranya didengar, dan pendiriannya pada masa jahiliyah begitu teguh hingga berhala menjadi bagian intim dari hidupnya. Ia menjaga tradisi kaumnya dengan sepenuh keyakinan, sampai cahaya kebenaran itu pelan-pelan mengetuk hatinya.
Baca Juga : Rekomendasi Drakor untuk Akhir Pekan di Ujung 2025, Cocok Ditonton saat Liburan
Islam datang bukan sebagai hentakan, melainkan sebagai panggilan yang jujur. Saat Amr akhirnya menerima risalah Rasulullah SAW, perubahan itu total. Keyakinan lama runtuh, digantikan iman yang menyala. Padahal, tubuhnya tak lagi sempurna. Kakinya pincang. Namun justru di situlah paradoksnya: raga terbatas, tekadnya tak berbatas.
Dalam kitab Sirah 65 Sahabat Rasulullah karya Abdurrahman Ra’fat, Amr digambarkan sebagai sahabat sepuh yang tak mau bersembunyi di balik uzur. Setelah memeluk Islam, ia menjelma menjadi pribadi yang tekun beribadah dan tegas menanamkan keberanian kepada anak-anaknya. Iman, baginya, bukan sekadar ucapan. Dia harus bergerak, berdiri, dan jika perlu, berdarah.
Ujian itu datang saat kabar Perang Uhud menggema. Di usia senja dan kondisi fisik yang lemah, Amr justru berdiri paling depan dalam niat. Anak-anaknya resah. Mereka mengingatkan bahwa Allah telah memberi keringanan bahwa jihad tak lagi wajib baginya. Tapi Amr menolak aman yang terlalu nyaman. Baginya, pincang bukan alasan untuk menepi dari panggilan langit.
Keyakinan itu ia bawa langsung kepada Rasulullah SAW. Ia memohon izin, bukan untuk dilindungi, melainkan untuk diizinkan maju. Rasulullah SAW pun mendoakannya. Doa itu bukan sekadar restu, melainkan peneguhan jalan: jika niatnya lurus, Allah akan memuliakannya.
Di medan Uhud, Amr benar-benar hadir. Ia melangkah tertatih, namun posisinya di garis depan. Setiap ayunan senjata adalah doa, setiap tarikan napas adalah rindu pada surga. Di belakangnya, putranya, Khallad, berdiri menjaga, ayah dan anak, dua generasi, satu iman. Mereka bertarung bukan karena usia atau tenaga, tetapi karena keyakinan yang sudah bulat.
Baca Juga : Panduan Salat Sunnah Malam 1 Rajab 1447, Lengkap dari Niat hingga Doanya
Hingga akhirnya, keduanya gugur. Syahid. Amr menutup hidupnya dengan apa yang ia kejar sejak awal: perjumpaan dengan Allah dalam keadaan paling jujur.
Rasulullah SAW menguburkan mereka dan menyampaikan sabda yang menguatkan makna pengorbanan itu. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang terluka di jalan Allah, kecuali ia akan datang pada hari Kiamat dengan luka itu mengalirkan darah; warnanya warna darah dan baunya bau misk.”
Kisah Amr bin Al-Jamuh bukan tentang romantisasi perang. Ini tentang keberanian melampaui keterbatasan, tentang iman yang tak menunggu tubuh sempurna untuk taat. Ia membuktikan bahwa surga bukan milik mereka yang paling kuat raganya, melainkan yang paling tulus dan jujur niatnya.
