JATIMTIMES - Penyusutan aset milik daerah bukan menjadi pandangan biasa bagi Eko Puguh Prastijo, advokat di Tulungagung. Menurutnya, aset daerah yang menyusut dan proyek yang terhenti menjadi pertanyaan dan hak publik untuk menjalankan fungsi pengawasan.
“Iki duite sopo, Iki aset e kanggo sopo, Kok merga angka-angka iki, Tulungagung dadi ketok ora terurus, (ini uang siapa, ini aset untuk siapa. Kok karena angka-angka ini, Tulungagung terlihat tidak terurus)," demikian Eko Puguh sampaikan saat mengawali percakapan.
Baca Juga : Berburu Bersama Sultan Agung: Taman Krapyak dan Jejak Hayam Wuruk
Kata-kata disampaikan ini menurut Eko adalah pertanyaan yang sering muncul dalam percakapan publik yang ia dengar. "Pertanyaan itu bukan bentuk kemarahan, bukan pula tuduhan. Itu adalah kegelisahan yang lahir dari cinta rakyat kepada daerahnya sendiri," ujarnya.
Ia memperlihatkan lampiran XIII APBD 2026, dan membacakan dengan teliti. "Jika dibuka dan dibaca lebih teliti, kegelisahan itu menemukan alasannya," ujarnya.
Berdasarkan temuannya dari dokumen APBD 2026, ada tiga indikasi penting yang digarisbawahi, yakni :
1. Aset Peralatan dan Mesin berkurang −21,639 miliar rupiah, tanpa penjelasan rinci terkait penyebabnya.
2. Konstruksi Dalam Pengerjaan stagnan di nilai 6,94 miliar rupiah, tanpa progres pembangunan yang terlihat.
3. Penyusutan aset meningkat drastis hingga −252,9 miliar rupiah, memberi sinyal turunnya kualitas aset publik.
"Angka-angka ini tidak hanya menjadi catatan teknis, tetapi menjadi cermin yang menyoroti kondisi nyata pengelolaan aset daerah," ungkapnya.
Eko Puguh mengingatkan tentang prinsip pemerintahan yang baik dari titik kelemahan yang ia temukan. Misalnya, soal keterbukaan atau transparansi. Menurutnya, penurunan aset miliaran tanpa narasi resmi membuat publik bertanya-tanya.
Soal akuntabilitas, ia juga menegaskan bahwa ketidaksinkronan data aset menunjukkan bahwa jalur pertanggungjawaban belum berjalan optimal. Responsibilitas dalam mengukur Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP) yang mandek menunjukkan ada tanggung jawab pembangunan yang belum terselesaikan.
"Proyek yang tidak bergerak adalah contoh langsung penggunaan anggaran yang belum efisien, hal ini juga terkait dengan sifat supremasi hukum sendiri bahwa ketidakteraturan dokumentasi aset adalah risiko pelanggaran asas legalitas," tuturnya.
Untuk itu, Eko Puguh mengajak agar partisipasi publik menjadi bagian penting untuk berjalannya pengawasan terhadap alur penganggaran hingga realisasi program pemerintah Kabupaten Tulungagung.
Baca Juga : Awas! Risiko Gagal Bayar Pinjol Mengintai, Berpotensi Rusak Mental hingga Fisik
"Rakyat adalah elemen pengawas yang sah. Pendiaman publik justru memperbesar risiko masalah berulang," terang advokat yang sedang menyelesaikan program doktoral ini.
“Politik hukum itu kompas. Jika pencatatannya salah, maka arah kebijakan pun ikut melenceng. APBD bukan angka, itu adalah janji hukum pemerintah kepada rakyat," tegasnya.
Ketika perencanaan hukum tidak diikuti pelaksanaan yang disiplin, maka yang rusak bukan hanya proyek, tetapi kredibilitas hukum itu sendiri. Untuk itu ia kembali mengingatkan bahwa setiap aset negara adalah objek hukum. Jika satu saja hilang tanpa jejak administratif, maka hukum kehilangan pijakan kebenarannya.
“Penyusutan aset bukan persoalan angka. Ini adalah tanda bahwa negara mungkin sedang gagal menjaga alat pelayanan publiknya. Jika rakyat bersuara itu bukan ancaman, justru penguat legitimasi pemerintah,"paparnya.
Solusinya, Eko memberikan pandangan yang edukasi bahwa perlu adanya Rekonstruksi politik hukum. Rekonstruksi administratif dan rekonstruksi kultural menjadi kebutuhan mutlak untuk membangun tata kelola aset yang sehat.
“Yen ana sing ora beres, rakyat sing kudu ngomong. Iki dudu permusuhan, iki cinta daerah," sentil Eko dalam bahasa khas Tulungagungan.
Dengan hanya melakukan tiga langkah etis, yakni Audit aset secara komprehensif, evaluasi mendalam proyek KDP yang mandek dan kebijakan pemeliharaan aset yang terukur, maka Eko memastikan akan berdampak nyata pada hasil yang dapat dipertanggungjawabkan.
"Aset daerah adalah milik bersama. Proyek pembangunan adalah hak bersama. Pengawasan publik adalah kewajiban bersama. Saat angka berbicara, rakyat tidak boleh diam. Aset daerah menyusut, proyek terhenti, pengawasan publik adalah hak, bukan perlawanan," tutupnya dengan nada serius.
